Kamis, 20 Desember 2007

SOSIOLINGUISTIK

SOSIOLINGUISTIK, PEMILIHAN BAHASA,
DAN MASYARAKAT MULTILINGUAL

Fathur Rokhman


PENDAHULUAN
Sosiolinguistik mengkaji hubungan bahasa dan masyarakat, yang nengaitkan dua bidang yang dapat dikaji secara terpisah, yaitu struktur formal bahasa oleh linguistik dan struktur masyarakat oleh sosiologi (Wardhaugh 1984: 4; Holmes 1993: 1; Hudson 1996: 2). Istilah sosiolinguistik itu sendiri baru muncul pada tahun 1952 dalam Kaya Haver C Currie (dalam Dittmar 1976: 27) yang menyatakan perlu adanya kajian mengenai hubungan antara perilaku ujaran dengan status sosial. Disiplin ini mulai berkembang pada akhir tahun 60-an yang diujungtombaki oleh Committee on Sociolinguistics of the Social Science Research Council (1964) dan Research Committee on Sociolinguistics of the International Sociology Association (1967). Jurnal sosiolinguistik baru terbit pada awal tahun 70-an, yakni Language in Society (1972) dan International Journal of Sociology of Language (1974). Dari kenyataan itu dapat dimengerti bahwa sosiolinguistik merupakan bidang yang relatif baru.
Pemilihan bahasa dalam masyarakat multibahasa merupakan gejala yang menarik untuk dikaji dari perspektif sosiolingistik. Bahkan Fasold (1984: 180) mengemukakan bahwa sosiolionguistik dapat menjadi bidang studi karena adanya pemilihan bahasa. Fasold memberikan ilustrasi dengan istilah societal multilingualism yang mengacu pada kenyataan adanya banyak bahasa dalam masyarakat. Tidaklah ada bahasan tentang diglosia apabila tidak ada variasi tinggi dan rendah. Pada kenyataannya setiap bab dari buku sosiolinguistik karya Fasold (1984) memusatkan pada paparan tentang kemungkinan adanya pemilihan bahasa yang dilakukan masyarakat terhadap penggunaan variasi bahasa. Statistik sekalipun menurut Fasold tidak akan diperlukan dalam sosiolinguistik apabila tidak ada variasi penggunaan bahasa dan pemilihan di antara variasi-variasi tersebut.

KONSEP DAN KATEGORI PEMILIHAN BAHASA
Dalam masyarakat multibahasa tersedia berbagai kode, baik berupa bahasa, dialek, variasi, dan gaya untuk digunakan dalam interaksi sosial. Untuk istilah terakhir, Kartomihardjo (1988) lebih suka mempergunakan istilah ragam sebagai padanan dari style. Dengan tersedianya kode-kode itu, anggoa masyarakat akan memilih kode yang tersedia sesuai dengan faktor-faktor yang mempengaruhinya. Dalam interaksi sehari-hari, anggota masyarakat secara konstan mengubah variasi penggunaan bahasanya.
Pemilihan bahasa menurut Fasold (1984: 180) tidak sesederhana yang kita bayangkan, yakni memilih sebuah bahasa secara keseluruhan (whole language) dalam suatu peristiwa komunikasi. Kita membayangkan seseorang yang menguasai dua bahasa atau lebih harus memilih bahasa mana yang akan ia gunakan. Misalnya, seseorang yang menguasai bahasa Jawa dan bahasa Indonesia harus memilih salah satu di antara kedua bahasa itu ketika berbicara kepada orang lain dalam peristiwa komunikasi.
Dalam pemilihan bahasa terdapat tiga kategori pemilihan. Pertama, dengan memilih satu variasi dari bahasa yang sama (intra language variation). Apabila seorang penutur bahasa Jawa berbicara kepada orang lain dengan menggunakan bahasa Jawa krama, misalnya, maka ia telah melakukan pemilihan bahasa kategori pertama ini. Kedua, dengan melakukan alih kode (code switching), artinya menggunakan satu bahasa pada satu keperluan dan menggunakan bahasa yang lain pada keperluan lain dalam satu peristiwa komunikasi. Ketiga, dengan melakukan campur kode (code mixing) artinya menggunakan satu bahasa tertentu dengan bercampur serpihan-serpihan dari bahasa lain.
Peristiwa alih kode dapat terjadi karena beberapa faktor. Reyfield (1970: 54-58) berdasarkan studinya terhadap masyarakat dwibahasa Yahudi-Inggris di Amerika mengemukakan dua faktor utama, yakni respon penutur terhadap situasi tutur dan faktor retoris. Faktor pertama menyangkut situasi seperti kehadiran orang ketiga dalam peristiwa tutur yang sedang berlangsung dan perubahan topik pembicaraan. Faktor kedua menyangkut penekanan kata-kata tertentu atau penghindaran terhadap kata-kata yang tabu. Menurut Blom dan Gumperz (1972: 408-409) teradapat dua macam alih kode, yaitu (1) alih kode situasional (situational switching) dan (2) alih kode metaforis. Alih kode yang pertama terjadi karena perubahan situasi dan alih kode yang kedua terjadi karena bahasa atau ragam bahasa yang dipakai merupakan metafor yang melambangkan identitas penutur.
Campur kode merupakan peristiwa percampuran dua atau lebih bahasa atau ragam bahasa dalam suatu peristiwa tutur. Di dalam masyarakat tutur Jawa yang diteliti ini juga terdapat gejala ini. Gejala seperti ini cenderug mendekati pengertian yang dikemukakan oleh Haugen (1972: 79-80) sebagai bahasa campuran (mixture of language), yaitu pemakaian satu kata, ungkapan, atau frase. Di Filipina menurut Sibayan dan Segovia (1980: 113) disebut mix-mix atau halu-halu atau taglish untuk pemakaian bahasa campuran antara bahasa Tagalog dan bahasa Inggris. Di Indonesia, Nababan (1978: 7) menyebutnya dengan istilah bahasa gado-gado untuk pemakaian bahasa campuran antara bahasa Indonesia dan bahasa daerah.

FAKTOR PEMILIHAN BAHASA
Pemilihan bahasa dalam interaksi sosial masyarakat dwibahasa/multibahasa disebabkan oleh berbagai faktor sosial dan budaya. Evin-Tripp (1972) mengidentifikaskan empat faktor utama sebagai penanda pemilihan bahasa penutur dalam interkasi sosial, yaitu (1) latar (waktu dan tempat) dan situasi; (2) partisipan dalam interkasi, (3) topik percakapan, dan (4) fungsi interaksi. Faktor pertama dapat berupa hal-hal seperti makan pagi di lingkungan keluarga, rapat di keluarahan, selamatan kelahiran di sebuah keluarga, kuliah, dan tawar-menawar barang di pasar.
Faktor kedua mencakup hal-hal seperti usia, jenis kelamin, pekerjaan, status sosial ekonomi, dan perannnya dalam hubungan dengan mitra tutur. Hubungan dengan mitra tutur dapat berupa hubungan akrab dan berjarak. Faktor ketiga dapat berupa topik tentang pekerjaan, keberhasilan anak, peristiwa-peristiwa aktual, dan topik harga barang di pasar. Faktor keempat berupa fuingsi interaksi seperti penawaran, menyanmpaikan informasi, permohonan, kebiasaan rutin (salam, meminta maaf, atau mengucapkan terima kasih).
Senada dengan Evin-Tripp, Groesjean (1982: 136) mengemukakan empat faktor yang mempengaruhi pemilihan bahasa dalam interaksi sosial, yaitu (1) partisipan, (2) situasi, (3) isi wacana, dan (4) fungsi interaksi. Faktor situasi mengacu pada (1) lokasi atau latar, (2) kehadiran pembicara monolingual, (3) tingkat formalitas, dan (4) tingkat keakraban. Faktor isi wacana mengacu pada (1) topik pembicaraan, dan (2) tipe kosakata. Fatkor fungsi iteraksi mencakupi aspek (1) menaikkan status, (2) penciptaan jarak sosial, (3) melarang masuk/ mengeluarkan seseorang dari pembicaraan, dan (4) memerintah atau meminta.
Dari paparan berbagai faktor di atas, yang perlu diperhatikan adalah bahwa tidak terdapat faktor tunggal yang dapat mempengaruhi pemilihan bahasa sesorang. Yang menjadi pertanyaan adalah apakah faktor-faktor itu memiliki kedudukan yang sama pentingnya?. Kajian penelitian pemilihan bahasa yang pernah dilakukan menunjukkan bahwa suatu faktor menduduki kedudukan yang lebih penting daripada faktor lain. Gal (1982) menemukan bukti bahwa karakteristik penutur dan mitra tutur merupakan faktor yang paling menentukan dalam pemilihan bahasa dalam masyarakat tersebut, sedangkan faktor topik dan latar merupakan faktor yang kurang menentukan dalam pemilihan bahasa dibanding faktor partisipan.
Berbeda dengan Gal, Rubin (1982) menemukan faktor penentu yang terpenting adalah lokasi tempat berlangsungya peristiwa tutur. Dalam penelitiannya tentang pemilihan bahasa Guarani dan Spanyol di Paraguay Rubin menyimpulkan bahwa lokasi interaksi yaitu (1) desa, (2) sekolah, dan (3) tempat umum sangat menentukan pemilihan bahasa masyarakat. Di desa pembicara akan memilih bahaa Guarani, di sekolah akan memilih bahasa Spanyol, dan di tempat umum memilih bahasa Spanyol.

PENDEKATAN KAJIAN PEMILIHAN BAHASA
Kajian pemilihan bahasa menurut Fasold (1984: 183) dapat dilakukan berdasarkan tiga pendekatan, yaitu pendekatan sosiologi, pendekatan psikologi sosial, dan pendekatan antropologi. Ketiga pendekatan itu dapat dijelaskan sebagai berikut.
Pendekatan sosiologi berkaitan dengan analisis ranah. Pendekatan ini pertama kali dikemukakan oleh Fishman (1964). Ranah menurut Fishman merupakan konstalasi faktor lokasi, topik, dan partisipan. Ranah didefinisikan pula sebagai konsepsi sosiokultural yang diabstraksikan dari topik komunikasi, hubungan peran antar-komunikator, dan tempat komunikasi di dalam keselarasan dengan pranata masyarakat dan merupakan bagian dari aktivitas masyarakat tutur (Fishman dalam Pride dan Holmes (eds) 1972). Di bagian lain Fishman (dalam Amon et al. (1987) mengemukakakan bahwa ranah adalah konsep teoretis yang menandai satu situasi interaksi yang didasarkan pada pengalaman yang sama dan terikat oleh tujuan dan kewajiban yang sama, misalnya keluarga, ketetanggaan, agama, dan pekerjaan. Sebagai contoh, apabila penutur berbicara di rumah dengan seorang anggota keluarga mengenai sebuah topik, penutur itu dikatakan berada pada ranah keluarga. Pemilihan ranah dalam penelitian ini mengacu pada pendapat Fishman.
Berbeda dengan pendekatan sosiologi, pendekatan psikologi sosial lebih tertarik pada proses psikologis manusia daripada kategori dalam masyarakat luas. Pendekatan ini lebih berorientasi pada individu seperti motivasi individu daripada berorientasi pada masyarakat. Karya-karya penting kajian pemilihan bahasa dengan pendekatan psikologi sosial telah dilakukan oleh Herman (1968), Giles et al. (1973), serta Bourhish dan Taylor (1977).
Herman (dalam Fasold 1984) mengemukakan teori situasi tumpang tindih yang mempengaruhi seseorang di dalam memilih bahasa. Situasi yang dimaksud adalah (1) kebutuhan personal (personal needs), (2) situasi latar belakang (background situation) dan (3) situasi sesaat (immediate situation). Dalam pemilihan bahasa salah satu situasi lebih dominan daripada situasi lain.
Giles (1977: 321-324) mengajukan teori akomodasi (accommodation theory). Menurut Giles terdapat dua arah akomodasi penutur dalam peristiwa tutur. Pertama, akomodasi ke atas yang terjadi apabila penutur menyesuaikan pemilihan bahasanya dengan pemilihan bahasa mitra tutur. Kedua, akomodasi ke bawah, yang terjadi apabila penutur menginginkan agar mitra tuturnya menyesuaikan dengan pemilihan bahasanya.
Pandangan Herman dan Giles tersebut mengimplikasikan adanya hubungan yang maknawi antara tingkat kondisi psikologis peserta tutur dan pemilihan bahasanya. Dengan demikian, untuk mengungkap permasalahan pemilihan bahasa perlu pula dilakukan kajian dari segi kondisi psikologis orang per orang dalam masyarakat tutur ketika mereka melakukan pemilihan bahasa atau ragam bahasa.
Seperti halnya pendekatan psikologi sosial, pendekatan antropologi tertarik dengan bagaimana seorang penutur berhubungan dengan struktur masyarakat. Perbedaannya adalah bahwa apabila psikologi sosial memandang dari sudut kebutuhan psikologis penutur, pendekatan antropologi memandangnya dari bagaimana seseorang memilih bahasa untuk mengungkapkan nilai kebudayaan (Fasold 1984: 193). Dari segi metodologi kajian terdapat perbedaan antara pendekatan sosiologi, psikologi sosial, dan antropologi. Dua pendekatan pertama yang disebut lebih mengarahkan kajiannya pada data kuesioner dan observasi atas subjek yang ditelitinya. Sementara itu, pendekatan yang ketiga menempatkan nilai yang tinggi pada perilaku takterkontrol yang alamiah. Hal ini membimbing peneliti untuk menggunakan metode penelitian yang jarang digunakan oleh sosiologi dan psikologi sosial, yakni observasi terlibat (participant observation). Sebagai contoh, penelitian yang dilakukan oleh Susan Gal (yang mempublikasikan hasilnya tahun 1979) di Oberwart, Australia Timur menghabiskan waktu satu tahun untuk tinggal di sebuah keluarga setempat.
Dengan menggunakan metode observasi terlibat ini antropolog dapat memberikan perspektif penjelasan atas pemilihan bahasa berdasarkan persepsinya sebagai penutur sebuah kelompok atau lebih yang dimasukinya selama mengadakan penelitian. Implikasi dari metode ini adalah bahwa pengamat adalah peneliti yang menjadi anggota kelompok yang ditelitinya (Wiseman dan Aron 1970: 49). Kesesuaian pendekatan antropologi dengan penelitian ini terletak pada faktor kultural yang mempengaruhi pemilihan bahasa masyarakat tutur.




KEDWIBAHASAAN DAN DIGLOSIA
Pada umumnya sosiolinguistik mengkaji masyarakat dwibahasa atau multibahasa (Appel dan Muysken 1987; Edwards 1994). Kajian pemilihan bahasa juga bertemali dengan situasi semacam itu sebab untuk menentukan pemilihan bahasa atau ragam bahasa tertentu pastilah ada bahasa atau ragam lain yang digunakan dalam komunikasi sehari-hari sebagai pendamping sekaligus pembanding. Penelitian pemilihan bahasa dalam masyarakat tutur Jawa di Banyumas ini pun tidak terlepas dari permasalahan kedwibahasaan.
Pengertian kedwibahasaan selalu berkembang mulai dari pengertian yang ketat sampai kepada pengertian yang longgar. Blommfield dalam bukunya Language (1933) memberikan batasan kedwibahasaan sebagai gejala penguasaan bahasa seperti penutur jati (native speaker). Batasan ini mengimplikasikan pengertian bahwa seorang dwibahasawan adalah orang yang menguasai dua bahasa dengan sama baiknya.
Mackey (dalam Fishman ed 1968: 555) berpendapat bahwa kedwibahasaan bukanlah gejala bahasa sebagai sistem melainkan sebagai gejala penuturan, bukan ciri kode melainkan ciri pengungkapan; bukan bersifat sosial melainkan individual; dan juga merupakan karakteristik pemakaian bahasa. Kedwibahasaan dirumuskan sebagai praktik pemakaian dua bahasa secara bergantian oleh seorang penutur. Kondisi dan situasi yang dihadapi dwibahasawan turut menentukan pergantian bahasa-bahasa yang dipakai. Pandangan Mackey didukung oleh Weinreich (1970).
Permasalahan kebahasaan yang dapat muncul berkaitan dengan batasan tersebut adalah bagaimana kalau kemampuan seseorang dalam bahasa kedua hanya sebatas mengerti dan dapat memahami tuturan bahasa kedua tetapi tidak mampu bertutur sehingga dalam praktik pemakaian bahasa yang melibatkan dirinya, ia tidak dapat memakainya secara bertanti-ganti. Situasi yang demikan tentu di luar batasan kedwibahasaan yang ketat sebagaimana diungkapkan oleh Bloomfield, Mackey, dan Weinreich. Padahal sosiolinguistik berkepentingan dalam hal tersebut.
Macnamara (1967) mengemukakan rumusan yang lebih longgar. Menurutnya kedwibahasaan itu mengacu kepada pemilikan kemampuan sekurang-kurangnya bahasa pertama dan bahasa kedua, meskipun kemampuan dalam bahasa kedua hanya sampai batas minimal. Rumusan ini diikuti oleh Haugen (1972) mengenai dua bahasa. Ini berarti bahwa seorang dwibahasawan tidak perlu menguasai bahasa kedua secara aktif produktif sebagaimana dituntut oleh Bloomfield, melainkan cukup apabila ia memiliki kemampuan reseptif dalam bahasa kedua.
Haugen (1972) merumuskan kedwibahasaan dengan rumusan yang lebih longgar, yaitu tahu dua bahasa. Seorang dwibahasawan tidak harus menguasai secara aktif dua bahasa, penguasaan bahasa kedua secara pasif pun dipandang cukup menjadikan seseorang disebut dwibahasawan. Mengerti dua bahasa dirumuskan sebagai menguasai dua sistem kode yang berbeda dari bahasa yang berbeda atau bahasa yang sama.
Dengan membading-bandingkan pengertian kedwibahasaan dari para ahli di atas, pengertian Haugen dijadikan kerangka konsep dalam penelitian ini karena gambaran kedwibahasaan anggota masyarakat memperlihatkan berbagai tingkat penguasaan bahasa atau ragam bahasa yang tampak di dalam pemakaiannya.
Fishman (1972: 92) menganjurkan bahwa dalam mengkaji masyarakat dwibahasa atau multibahasa hendaknya diperhatikan kaitannya dengan ada tidaknya diglosia. Istilah diglosia diperkenalkan pertama kali oleh Ferguson (1959) untuk melukiskan situasi kebahasaan yang terdapat di Yunani, negara-negara Arab, Swis, dan Haiti. Di setiap negara itu terdapat dua ragam bahasa yang berbeda, masing-masing adalah Katharevusa dan Dhimtiki di Yunani, Al-fusha dan Ad-dirij di negara-negara Arab, Schriftsprache dan Schweizerdeutsch di Swis, serta bahasa Prancis dan kreol di Haiti. Ragam yang disebut pertama adalah ragam bahasa tinggi (T) yang dipakai dalam situasi resmi, sedangkan yang disebut kedua adalah ragam bahasa Rendah (R) yang dipakai dalam situasi sehari-hari tak resmi. Ragam bahasa yang dipakai di dalam situasi resmi (seperti perkuliahan, sidang parlemen, dan khotbah di tempat-tempat ibadah) dianggap sebagai bahasa yang bergengsi tinggi oleh masyarakat bahasa yang bersangkutan. Mengingat latar belakang sejarah ragam ini yang sudah sejak lama mengenal ragam tulis dan menikmati gengsi yang tinggi itu, ragam inilah yang dipakai sebagai bahasa sastra di kalangan para pemakainya. Ragam ini mengalami proses pembakuan dan harus dipelajari di sekolah, sedangkan tidak setiap orang mempunyai kesempatan untuk mempelajarinya. Sebaliknya, ragam bahasa yang dipakai di dalam situasi tidak resmi adalah ragam bahasa yang dipakai sehari-hari di rumah. Ragam ini tidak mengenal ragam tulis dan tidak menjadi sasaran pembakuan bahasa. Penguasaan atas ragam ini merupakan kebanggaan bagi pemakainya. Oleh karena itu, ragam R tidak tercantum sebagai mata pelajaran di sekolah; masyarakat pemakainya tidak perlu mempelajari ragam bahasa ini di sekolah. Oleh para pemakainya ragam ini dianggap berkedudukan rendah dan tidak bergengsi. Penguasaan atas ragam-ragam itu dapat dipakai sebagai penentu terpelajar atau tidaknya seseorang. Oleh karena itu, orang yang hanya menguasai ragam rendah saja sering merasa malu karena hal itu menunjukkan tingkat pendidikannya yang rendah.
Definisi diglosia yang diberikan oleh Ferguson adalah sebagai berikut: “Diglosia is a relatively stable language situation in which, in addition to the primary dialects of the language (which may include a satandard or regional standars), there is a very divergent, highly codified (often grammatically more complex) superposed variety, the vehicle of a large and respected body of written literature, either of an earlier period or in another speech community, which is learned largely by formal education and is used for most written and formal spoken purposes but is not used in any sector of the community for the ordinary conversation”. (Diglosia adalah suatu situasi kebahasaan yang relatif stabil, yang di samping adanya dialek-dialek utama dari bahasa (yang mungkin meliputi ragam-ragam baku setempat), juga mengenal suatu ragam yang ditinggikan, yang sangat berbeda, yang terkodifikasikan secara rapi (dan yang tatabahasanya lebih rumit), yang berasal dari waktu yang lampau atau yang berasal dari masyarakat bahasa lain, yang dipelajari melalui pendidikan formal dan sebagian besar dipakai untuk keperluan formal lisan dan tertulis tetapi tidak dipakai di sektor apa pun di dalam masyarakat itu untuk percakapan sehari-hari).
Pengertian tentang diglosia kemudian dikembangkan oleh Fishman (1972: 92). Istilah diglosia tidak hanya dikenakan pada ragam tinggi dan rendah dari bahasa yang sama akan tetapi juga dikenakan pada bahasa yang sama sekali tidak serumpun. Yang menjadi tekanannya adalah perbedaan fungsi kedua bahasa tau ragam bahasa yang bersangkutan. Di samping itu, Fishman juga berpendapat bahwa diglosia tidak hanya terdapat pada masyarakat yang mengenal satu bahasa dengan dua ragam bahasa semata-mata; diglosia dapat juga ditemukan pada masyarakat yang mengenal lebih dai dua bahasa. Di samping perbedaan, ada juga persamaan antara keduanya, yaitu bahwa ragam-ragam bahasa itu mengisi alokasi fungsi masing-masing dan bahwa ragam T hanya dipakai di dalam situasi resmi dan ragam R di dalam situasi yang tidak atau kurang resmi. Oleh Fishman (1972: 92) diglosia diartikan sebagai berikut. “ … diglossia exits not only in multilingual societies which officially recognize several “language”, and not only in societies which employ separate dialects, registers, or funcitonally differentiated language varieties of whatever kind” (… diglosia tidak hanya terdapat di dalam masyakat aneka bahasa yang secara resmi mengakui beberapa bahasa”, dan tidak hanya terdapat terdapat di dalam masyarakat yang menggunakan ragam sehari-hari dan klasik, tetapi terdapat juga di dalam masyarakat bahasa yang memakai logat-logat, laras-laras, atau ragam-ragam jenis apa pun yang berbeda secara fungsional.
Implikasi teoretis dari definisi di atas, menurut batasan Fishman dapat dibedakan adanya (a) masyarakat bahasa yang bilingual sekaligus diglosik, (b) masyarakat bahasa yang bilingual tetapi tidak diglosik, (c) masyarakat yang tidak bilingual dan sekaligus tidak diglosik, dan (d) masyarakat yang tidak bilingual tetapi diglosik.
Di samping itu, ada pendapat lain dari Fasold (1984) yang mencatat ada empat masalah yang perlu diperjelas, masing-masing yang berkaitan dengan masalah bahasa baku dan dialek, masalah pembagian yang serba dua, masalah bungan genetis bahasa, dan masalah fungsi. Masalah pertama dipersoalkan karena adanya kemungkinan adanya masyarakat bahasa yang menganggap ragam T justru bukan sebagai ragam T. Kalau demikian halnya, maka situasi semacam ini bukanlah situasi diglosia tetapi sekedar siatuasi yang mengenal adanya bahasa baku dan dialek. Oleh karena itu, Fasold memberikan pengertian “masyarakat diglosik” sebagai satuan masyarakat yang memiliki ragamT dan ragam R bersama-sama. Ada kemungkinan juga bahwa masyarakat diglosik itu memiliki ragam T yang sama tetapi ragam R yang berbeda-beda dan ini berarti bahwa masyarakat itu merupakan masyarakat diglosik yang berbeda-beda pula. Oleh Fasold keadaan seperti itu digambarkan sebagai berikut:


Tinggi



Rendah 1

Rendah 2


Rendah 3

Rendah 4

Masalah yang kedua adalah masalah yang menyangkut pertanyaan apakah gejala diglosia itu hanya terwujud di dalam pembagian ragam bahasa yang menjadi pembagian serba dua, yakni ragam tinggi dan ragam rendah semata-mata. Berbagai laporan hasil penelitian di beberapa tempat yang berbeda, Fasold mengambil simpulan bahwa ada beberapa jenis diglosia, yang masing-masing disebutnya sebagai double overlapping diglossia (diglosia bertindih ganda), dan linear polyglossia (poliglosia linear). Diglosia bertindih ganda adalah situasi kebahasaan yang mengenal ragam T dan R juga, tetapi salah satu dari ragam R itu merupakan ragam tinggi (T) terhadap ragam r lain. Situasi kebahasaan seperti itu terdapat di Tanganyika. Mikilifi (1978) menyebutnya dengan istilah polgylgossia).
Diglosia ganda adalah situasi kebahasaan yang mengenal ragam T dan ragam R dan di dalam masing-masing ragam terdapat ragam t dan ragam r juga. Keadaan seperti ini didapatkan di Khalapur yang terletak di sebelah utara New Dehli, India (Gumperz (1964).
Dari pengamatan terhadap jenis- jenis diglosia di berbagai negara itu dapat disimpulkan bahwa istilah diglosia tidak harus diartikan sebagai situasi kebahasaan yang hanya melibatkan dua ragam saja.
Demikian juga halnya dengan masalah yang ketiga. Antara ragam T dan ragam R tidak harus ada hubungan genetis. Fasold malah mencatat adanya gejala yang mirip seperti diglosia yang melibatkan hubungan antara subdialek dan antara gaya seperti yang terjadi di dalam bahasa Rusia.
Berdasarkan pertimbangan itu semua, Fasold mengusulkan nama baru menjadi broad diglossia (diglosia luas) yang diartikan sebagai “ the reservation of higly valued segments of community’s linguistic repertoire (which are not the first to be learned, but are learned later and more consciously, usually through formal education) for situations perceived as more formal and guarded, and the reservation of less highly valued segments (which are learned first with little or no conscious effort), of any degree of linguistic relatedneess to the higher valued segments, from stylistic differences to separate languages, for situations perceived as more informal and intimate”… ( pelestarian segmen khazanah bahasa yang dinilai sangat tinggi (yang tidak dipelajari pertama kali, tetapi dipelajari lebih kemudian dan dipelajari secara lebih sadar, biasanya melalui pendidikan formal) dalam suatu masyarakat, untuk situasi-situasi yang dianggap sebagai lebih formal dan terjaga, dan pelestarian segmen yang dinilai kurang tinggi (yang dipelajari pertama kali dengan sedikit usaha atau tanpa usaha yang disadari), berapa derajat pun hubungan kebahasaannya dengan segmen yang dinilai lebih tinggi, dari (hanya sekedar) perbedaan stilistik sampai perbedaan bahasa, untuk situasi yang dianggap sebagai lebih resmi.
Sepanjang pengetahuan penulis ini, situasi diglosia di Indonesia selalu dilihat sebagai gejala diglosia biner seperti yang dikemukakan oleh Ferguson (1959), Fishman (1971), Suwito (1987), dan Moeliono (1988). Berdasarkan hasil pengamatan di dalam masyarakat Banyumas, gejala diglosik di Banyumas bukanlah sekedar gejala diglosik biner melainkan lebih mirip dengan diglosia ganda seperti dikemukakan oleh Fasold (1985).

ETNOGRAFI KOMUNIKASI SEBAGAI MODEL ANALISIS
Pemakaian bahasa dalam komunikasi selain ditentukan oleh faktor-faktor linguistik juga ditentukan oleh faktor-faktor nonlinguistik atau luar bahasa. Faktor yang demikian itu sering pula dikatakan berkaitan erat dengan faktor sosial. Pandangan demikan memang cukup beralasan karena pada dasarnya bahasa adalah bagian dari suatu sistem sosial. Karena sistem sosial erat sekali hubungannya dengan sistem budaya, maka bahasa juga tidak dapat dilepaskan dari faktor-faktor budaya.
Hubungan bahasa dengan sistem sosial budaya dapat dikaji dari berbagai disiplin, satu di antaranya adalah sosiolinguistik. Ancangan sosiolinguistik dalam kajian ini dipusatkan pada model fungsional pemakaian bahasa pada dimensi sosial budaya masyarakat tuturnya. Model yang dimaksud adalah Model Etnografi Komunikasi yang dikembangkan oleh Hymes (1972, 1973, 1980). Istilah etnografi komunikasi (ethnography of communication) merupakan pengembangan dari etnografi berbahasa (etnography of speaking). Konsep etnografi berbahasa oleh Hymes (1972: 37) dimaksudkan sebagai kajian situasi dan penggunaan tutur serta pola dan fungsi tutur dalam tindak tutur yang rutin dan khusus. Pengembangan istilah itu dimaksudkan oleh Hymes (1980: 8) untuk memfokuskan kerangka acuan karena pemerian tempat bahasa di dalam suatu kebudayaan bukan pada bahasa itu sendiri melainkan pada komunikasinya.
Kerangka etnografis melibatkan beraneka faktor yang terdapat di dalam pertuturan. Kerangka yang mula-mula disebut dengan etnografi pertuturan itu pada akhirnya berkembang menjadi etnografi komunikasi. Etnografi komunikasi adalah salah satu ancangan yang dapat digunakan di dalam penelitian hubungan bahasa dengan manusia (masyarakat). Pada dasarnya, ancangan itu berusaha memberikan gambaran etnografis masyarakat bahasa yang di antaranya mencakup pola komunikasi, fungsi komunikasi, hakikat dan batasan masyarakat bahasa, alat komunikasi, komponen komunikatif, hubungan bahasa dengan pikiran dan organisasi sosial, dan perilaku bahasa lainnya.
Perilaku bahasa diakui mempunyai pola teratur dan mempunyai kendala yang dapat dinyatakan di dalam bentuk-bentuk norma bahasa. Etnografi komunikasi terarah pada penyelidikan keteraturan yang terdapat di dalam penggunaan bahasa serta bagaimana bagian-bagian komunikasi dibentuk. Selanjutnya, bagaimana bagian-bagian tersebut tersusun di dalam suatu cara bahasa di dalam arti yang sangat luas dan bagaimana pola-pola yang ada berhubungan secara sistematis dengan aspek-aspek kebudayaan lainnya.
Pola bahasa terdapat pada semua tingkat komunikasi seperti masyarakat, kelompok, dan individu. Pada tingkat masyarakat, komunikasi biasanya terbentuk melalui fungsinya, kategori percakapan, dan sikap serta konsepsi tentang bahasa dan manusia. Komunikasi tentunya juga terbentuk menurut peran dan kelompok tertentu di tengah-tengah masyarakat serta menurut jenis kelamin, umur, status sosial, dan jenis pekerjaan. Cara bahasa juga terbentuk menurut tingkat pendidikan, penduduk kota atau desa, daerah geografis, dan ciri-ciri organisasi sosial lainnya.

Menurut Hymes (1972, 1980: 9-18), ciri-ciri dimensi sosial budaya yang bersifat etik dapat digolongkan dalam delapan komponen yang bersifat emik (bandingkan dengan Poedjosudarmo 1975). Kedelapan komponen itu disebut sebagai komponen tutur (speach component). Disebut demikian karena memang perwujudan makna sebuah tuturan atau ujaran ditentukan oleh komponen tutur. Kedelapan komponen tutur itu diakronimkan denang SPEAKING: Setting (latar), Partisipant (peserta tutur), Ends (tujuan tutur), Act sequence (topik , uturan tutur), Key (nada tutur), Norms (norma tutur) dan Genre (jenis tutur).
Latar tutur meliputi tempat tutur dan suasana tutur. Tempat tutur mengacu pada keadaan fisik, sedangkan suasana tutur mengacu pada suasana psikologis (baik bersifat resmi maupun tidak rsemi) tindak tutur dilaksanakan. Peserta tutur mengacu pada penutur, mitra tutur, dan orang yang dituturkan. Pemilihan bahasa antar-peserta tutur ditentukan oleh perbedaan dimensi vertikal dan dimensi horisontal. Dimensi pertama meliputi perbedaan umur, status sosial eknomi, dan kedudukan dalam masyarakat. Perbedaan dimensi kedua antara lain meliputi perbedaan tingkat keakraban antarpeserta tutur.
Tujuan tutur merupakan hasil yang diharapkan atau yang tidak diharapkan dari tujuan tindak tutur, baik ditujukan kepada individu maupun masyarakat sebagai sasarnnya. Suatu tuturan mungkin bertujuan menyampaikan buah pikiran, membujuk, dan mengubah perilaku (konatif). Topik tuturan mengacu pada apa yang dibicarakan (massage content) dan cara penyampaiannya (massage form). Dalam sebuah peristiwa tutur, beberapa topik tutur dapat muncul secara berurutan. Perubahan topik tutur dalam peristiwa tutur akan berpengaruh terhadap pemilihan bahasa.
Nada tutur diwujudkan, baik berupa tingkah laku verbal maupun nonverbal. Nada tutur verbal mengacu pada perubahan bunyi bahasa, yang dapat menunjukkan keseriusan, kehumoran, atau kesantaian tindak tutur. Nada tutur non-verbal dapat berujud gerak anggota badan, perubahan air muka, dan sorot mata. Sarana tutur mengacu pada saluran tutur dan bentuk tutur. Sarana tutur dapat berupa sarana lisan, tulis, dan isyarat. Bentuk tutur dapat berupa bahasa sebagai sistem mandiri, variasi bahasa seperti dialek, ragam, dan register.
Norma tutur berhubungan dengan norma interaksi dan norma interpretasi/ Yang dimaksud norma interaksi adalah norma yang bertalian dengan boleh--tidaknya sesuatu dilaksanakan oleh peserta tutur pada waktu tuturan berlangsung, sedangkan norma interpretasi merupakan norma yang dimiliki oleh kelompok masyarakat tutur tertentu. Adapun jenis tutur meliputi kategori kebahasaan seperti prosa, puisi, dongeng, legenda, doa, kuliah, iklan dan sebagainya.
Kedelapan variabel komponen tutur Hymes tidaklah sepenuhnya digunakan dalam setiap pemerian fenomena pemakaian bahasa dalam dimensi sosial budaya, tetapi tergantung pada fokus variabel yang diperhatikan. Dalam kenyataannya, kedelapan variabel komponen tersebut tidak selalu hadir secara bersamaan dalam sebuah peristiwa tutur tertentu. Untuk itu pembatasan variabel komponen tutur yang sesuai dengan fokus pemerian pemilihan bahasa Jawa dan bahasa Indonesia dalam penelitian ini sangatlah diperlukan.
Dalam kajiannya terhadap pemakaian tingkat tutur bahasa Jawa Poedjosudarmo (1979) juga telah memaparkan komponen tutur. Konsep komponen tutur yang disampaikan oleh Poedjosudarmo sebetulnya merupakan pengembangan konsep Hymes (1972) tentang peranan komponen tutur dalam rangka komunikasi. Beberapa pengembangan yang dilakukan oleh Poedjosudamo disesuaikan dengan situasi kebahasaan di Indonesia, khususnya di Jawa. Akibatnya adalah bahwa komponen tutur dalam versinya menjadi lebih rinci dan lebih luas, melebihi jumlah komponen tutur yang dipakai sebagai dasarnya.
Perbedaan komponen tutur yang dikemukakan oleh Poedjosudarmo dan Hymes terletak pada jenis dan jumlah komponen. Jika Hymes (1972) mengemukakan delapan komponen tutur, maka Poedjosudarmo menyebut tiga belas butir komponen tutur. Ketiga belas komponen tutur itu dapatlah disebutkan di sini satu demi satu: (1) pribadi penutur, (2) warna emosi, (3) kehendak tutur, (4) angggapan penutur terhadap mitra tutur, (5) kehadiran orang ketiga, (6) nada dan suasana bicara, (7) adegan tutur, (8) pokok pembicaraan, (9) sarana tutur, (10) urutan bicara, (11) ekologi percakapan, (12) bentuk wacana, dan (13) norma kebahasaan lainnya.
Poedjosudarmo (1979) lebih menaruh perhatian terhadap aspek peserta tutur, yang tampak dengan dikemukakannya lebih dulu secara berturut-turut adalah pribadi penutur, warna emosi, kehendak tutur, anggapan terhadap mitra tutur, dan kehadiran orang ketiga, sedangkan Hymes (1972) tampak lebih menaruh perhatian pada latar tutur, yang merupakan faktor yang banyak berpengaruh terhadap bentuk tutur. Dalam aspek lain, Hymes (1972) menganggap pokok tutur sebagai pusat tindak tutur. Sementara itu, Poedjosudarmo (1979) menganggap pokok tutur hanya merupakan salah satu butir komponen tutur yang peranannya banyak dipengaruhi oleh komponen tutur lain. Poedjosudarma (1979) memasukkan adegan tutur sebagai salah satu komponen tutur, yang oleh Hymes ditempatkan di luar komponen tutur bersama dengan situasi tutur.